Halaman

Selasa, 06 Agustus 2019

Kebudayaan korea

Kebudayaan Korea Selatan



Budaya tradisional Korea diwarisi oleh rakyat Korea Utara dan Korea Selatan, walaupun keadaan politik yang berbeda telah menghasilkan banyak perbedaan dalam kebudayaan modern Korea.


  1. Rumah tradisional Korea Selatan





 Rumah Masyarakat tradisional Korea memilih tempat tinggal berdasarkan geomansi. Orang Korea meyakini bahwa beberapa bentuk topografi atau suatu tempat memiliki energi baik dan buruk (dalam konsep eum dan yang) yang harus diseimbangkan. Geomansi memengaruhi bentuk bangunan, arah, serta bahan-bahan yang digunakan untuk membangunnya.
Rumah menurut kepercayaan mereka harus dibangun berlawanan dengan gunung dan menghadap selatan untuk menerima sebanyak mungkin cahaya matahari. Cara ini masih sering dijumpai dalam kehidupan modern saat ini.
Rumah tradisional Korea (biasanya rumah bangsawan atau orang kaya) menjadi bagian dalam (anchae), bagian untuk pria (sarangchae), ruang belajar (sarangbang) dan ruang pelayan (haengrangbang). Besar rumah dipengaruhi oleh kekayaan suatu keluarga.
Rumah-rumah ini memiliki penghangat bawah tanah yang disebut ondol yang berfungsi saat musim dingin.

2. Taman di Korea Selatan



Hyangwonjeong, sebuah taman di Gyeongbokgung, Seoul
Taman korea adalah bentuk atau rancangan taman tradisional khas Korea. Walau taman Korea amat dipengaruhi konsep taman Tiongkok, rancang bangunnya memiliki keunikan tersendiri.
Karakterisitik taman Korea adalah kesederhanaan, alami dan tidak dipaksakan untuk mengikuti suatu aturan khusus. Dibanding taman Tiongkok dan taman Jepang yang memiliki banyak elemen pelengkap karena konsep mengimitasikan pemandangan asli, taman Korea mungkin lebih tampak kurang akan unsur pelengkap.
Taman Korea sangat mencolok dan sederhana karena selalu terdapat kolam teratai dengan bangunan paviliun di dekatnya. Kolam dihubungkan dengan aliran alami yang bagi orang Korea sangat indah untuk dipandang.
Taman-taman yang terkenal:

3. Pakaian (hanbok)

Pakaian tradisional Korea disebut Hanbok(Korea Utara menyebut Choson-ot). Hanbok terbagi atas baju bagian atas (Jeogori), celana panjang untuk laki-laki (baji) dan rok wanita (Chima).
Orang Korea berpakaian sesuai dengan status sosial mereka sehingga pakaian merupakan hal penting. Orang-orang dengan status tinggi serta keluarga kerajaan menikmati pakaian yang mewah dan perhiasan-perhiasan yang umumnya tidak bisa dibeli golongan rakyat bawah yang hidup miskin.
Dahulu, Hanbok diklasifikasikan untuk penggunaan sehari-hari, upacara dan peristiwa-peristiwa tertentu. Hanbok untuk upacara dipakai dalam peristiwa formal seperti ulang tahun anak pertama (doljanchi), pernikahan atau upacara kematian.
Saat ini hanbok tidak lagi dipakai dalam kegiatan sehari-hari, namun pada saat-saat tertentu masih digunakan.
4. Kuliner khas Korea Selatan




Bentuk kuliner Korea dipengaruhi oleh kebudayaan pertanian mereka. Makanan pokoknya adalah beras. Hasil utama pertanian rakyat Korea adalah berasgandumdan kacang-kacangan. Hasil laut pun melimpah seperti ikancumi-cumi dan udang, sebab Korea dikelilingi 3 lautan.
Kuliner Korea sebagian besar dibentuk dari hasil fermentasi yang sudah berkembang sejak lama. Contohnya adalah kimchi dan doenjang. Makanan fermentasi sangat berguna dalam menyediakan protein dan vitamin ketika musim dingin.
Beberapa menu makanan dikembangkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa khusus seperti festival atau upacara seperti ulang tahun anak yang ke-100 hari, ulang tahun pertama, perkawinan, ulangtahun ke-60, upacara pemakaman dan sebagainya. Pada peristiwa-peristiwa ini selalu dijumpai kue-kue beras yang berwarna-warni.
Makanan kuil berbeda dari makanan biasanya karena melarang penggunaan 5 jenis bumbu yang biasa dipakai seperti bawang putihbawang merahdaun bawangrocambole(sejenis bawang), bawang peraijahe serta daging.
Makanan kerajaan (surasang) saat ini sangat terkenal karena sudah dapat dinikmati seluruh lapisan rakyat.

4. Teh

Darye, upacara teh Korea
Teh diperkenalkan di Korea dari Tiongkoksejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika agama Buddha disebarkan. Teh digunakan dalam upacara-upacara persembahan. Bentuk kebudayaan teh bangsa Korea terukir dalam upacara teh Korea (Dado).
5.Festival
Kalender Korea didasarkan pada kalender lunisolar.[2]
Kalender Korea dibagi dalam 24 titik putaran (jeolgi) yang masing-masing terdiri dari 15 hari dan digunakan untuk menentukan masa tanam atau panen pada masyarakat agrarispada zaman dahulu, namun pada saat ini tidak digunakan lagi. Kalender Gregoriandiperkenalkan di Korea tahun 1895, tetapi hari-hari tertentu seperti festival, upacara, kelahiran dan ulang tahun masih didasarkan pada sistem kalender lunisolar.[3][4]
Festival terbesar di Korea antara lain:




Jumat, 02 Agustus 2019

Sejarah Korea

SEJARAH  KORUT  DAN KORSEL





Pembagian Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan bermula sejak kemenangan Blok Sekutu di dalam Perang Dunia II, mengakhiri 35 tahun Penjajahan Jepang atas Korea. Di dalam sebuah proposal yang ditolak oleh hampir seluruh bangsa Korea, Amerika Serikat dan Uni Soviet setuju untuk sementara menduduki negara Korea sebagai wilayah perwalian dengan zona pengawasan yang didemarkasi pada sepanjang 38 derajat lintang utara. Tujuan perwalian ini adalah untuk mendirikan pemerintah sementara Korea yang akan menjadi "bebas dan merdeka pada waktunya."[1] Meskipun pemilihan umum dijadwalkan, dua adidaya mendukung dari belakang para pemimpin yang berseberangan dan dua negara itu secara efektif telah didirikan, masing-masing mengakui kedaulatan atas seluruh Semenanjung Korea.


Perang Korea (1950-1953) meninggalkan dua Korea yang dipisahkan oleh Zona Demiliterisasi Korea, yang secara teknis masih menyisakan perang melalui Perang Dingin hingga kini. Korea Utara adalah negara komunis, seringkali digambarkan sebagai Stalinis dan tertutup. Ekonominya pada awalnya menikmati pertumbuhan yang substansial namun runtuh pada tahun 1990-an, tidak seperti tetangga Komunisnya Republik Rakyat Tiongkok. Korea Selatan tumbuh, setelah beberapa dasawarsa di bawah penguasa otoriter, menjadi demokrasi liberalkapitalis, salah satu ekonomi terbesar di dunia.


Sejak 1990-an, dengan pemerintahan Korea Selatan yang liberal progresif, juga mangkatnya pendiri Korea Utara Kim Il-sung, dua pihak mangambil jalan, langkah-langkah simbolik menuju Reunifikasi Korea yang mungkin.[2]


Perang Dingin

Presiden AS Ronald Reagan (kiri) dan Sekretaris Jenderal Soviet Mikhail Gorbachev, bertemu di Jenewa pada tahun 1985.
West and East Germans at the Brandenburg Gate in 1989.jpg
Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Perang Dingin
Asal Perang Dingin
Perang Dunia II
Konferensi perang
Blok Timur
Tirai Besi
Perang Dingin (1947–1953)
Perang Dingin (1953–1962)
Perang Dingin (1962–1979)
Perang Dingin (1979–1985)
Perang Dingin (1985–1991)
Konflik beku
Garis waktu  · Konflik
Historiografi
Perang Dingin II
Perang Dingin (bahasa InggrisCold Warbahasa Rusiaхоло́дная война́, kholodnaya voyna, 1947–1991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara satelitnya. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok Timur. Proses pemulihan pasca-perang di Eropa Barat difasilitasi oleh program Rencana Marshall Amerika Serikat, dan untuk menandinginya, Uni Sovietkemudian juga membentuk COMECON bersama sekutu Timurnya. Amerika Serikat membentuk aliansi militer NATO pada tahun 1949, sedangkan Uni Soviet juga membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955. Beberapa negara memilih untuk memihak salah satu dari dua negara adidaya ini, sedangkan yang lainnya memilih untuk tetap netral dengan mendirikan Gerakan Non-Blok.
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur(1973), Perang Afganistan (1979–1989), dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat dalam konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klienspionase, kampanye propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang proksi; di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang oleh beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman tentara dan peperangan. Dalam rangka meminimalkan risiko perang nuklir, kedua belah pihak sepakat melakukan pendekatan détente pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.
Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang menderita stagnasi perekonomian. Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, memperkenalkan kebijakan reformasi liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi", 1987) dan glasnost ("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-negara satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan militer yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang menyertainya telah menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam budaya populer, khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase dan ancaman perang nuklirDaftar isi


Asal istilah

Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic Bomb" (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:
"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam "perang dingin" permanen dengan tetangganya."[1]
Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan Imperium Britania."[2]
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden.[3] Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947,[4] Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin."[5] Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Prancis dari tahun 1930-an, la guerre froide.[6]

Latar belakang

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang Saudara Rusia.
Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19.[7]
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.[8] Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan KominternSoviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.[9]
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi sosialis."[10] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[11]
Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[12] Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[7] pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[13] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[14] tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Prancis memicu kudeta,[15] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[16] dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Prancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[17]
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.[18]
Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)

Konferensi pascaperang di Eropa


Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di Eropa.[20] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pascaperang.[20] Sekutu Barat menginginkan sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi internasional.[21]
Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[22] serta besarnya jumlah korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia II,[23] Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.[20][24]
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia pascaperang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang visinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[25]
Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar dalam pencapaian agenda merekaMoskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi Polandia.[25]
Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pascaperang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pascaperang di Eropa.[26] Pada bulan April 1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.[27]
Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur,[26] sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan Prancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.[28]
Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya untuk menggunakan hak veto.[29] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda.[30]

Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang

Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur.[31] Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan kubu mereka masing-masing.[32] Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[33]
Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang.[33] Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet.[34]

Awal Blok Timur

Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki "Tirai Besi".
Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda),[35][36] Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),[37] Latvia (menjadi RSS Latvia),[35][36] Lithuania (menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[38][39]
Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[40] negara-negara ini di antaranya Jerman Timur,[41] Republik Rakyat PolandiaRepublik Rakyat BulgariaRepublik Rakyat Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik Rakyat Romania, dan Republik Rakyat Albania.[44]
Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial.[45] Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[46]
Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[47] Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[48]
Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk "memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia".[50] Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer.[49]

Persiapan untuk "perang baru"

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram PanjangGeorge F. Kennan dari Moskow membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin.[51] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS "berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru".[52]
Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk memenangkan hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia [...]"[54]
Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri.[55] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi" dari "Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[40][56]
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini.[57]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur.[58] Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

Kontainmen dan Doktrin Truman

Aliansi militer Eropa.
Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain.[59] Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400 untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,[16] AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan royalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.[61]
Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.[62][63] Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[64] sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi intelijen,[65] operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang VietnamCND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]

Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia

Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang menerima bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan yang diterima per negara.
Aliansi perekonomian Ero
Pada awal 1947, Britania, Prancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan oleh Sekutu selama perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.[67]
Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]
Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon).[16] Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.[71]
Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia, Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[74]
Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa BaratYunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[70] Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionasepembelotan Blok Timur, dan pengusiran diplomatik.[76]

Blokade Berlin


Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Prancis juga digabungkan pada bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[78] Selain itu, sesuai dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.[79]
Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.[80] Amerika Serikat, Britania, Prancis, KanadaSelandia BaruAustralia, dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.[81]
Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi partai non-Komunis.[82] Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[83] dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]

Awal NATO dan Radio Free Europe

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949 dengan para tamu di Oval Office.
Britania, Prancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan di SemipalatinskRSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948,[78][86] AS, Britania, dan Prancis mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.[31][87] Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.[31]
Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap imperialisme.[89]
Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke Eropa Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai.[91] Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan.[92]
Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[92] Amerika Serikat, dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk Kebebasan.[94]
Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31] Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]

Perang Saudara Cina dan SEATO

Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949
Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkokdan akhir dari monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah dokumen rahasia pada tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan.[16]
Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal 1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.[31]

Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan laut Incheondari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.
Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,[100] menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.[101][102][103][104] Untuk mengejutkan Stalin,[16] Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Cina.[105]Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Prancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.[106]
Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur militer.[107] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua pasukan asing.[108]
Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.[111] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-partai pada tahun 1987.
  • Nama Kelompok:
    ➼Allika Septiana
    ➼Dinda Pradita Rahmaningsih
    ➼Farah Indri Saraswati
    ➼Hannatrie Syalsabillah
    ➼Jihan Maharani Azhara

Kebudayaan korea

Kebudayaan Korea Selatan Budaya tradisional Korea diwarisi oleh rakyat Korea Utara dan Korea Selatan, walaupun keadaan politik...